DBASIA Network

Iga Swiatek Tak Kuasa Tahan Air Mata Usai Kekalahan Di Olimpiade

DBasia.news – Tidak ada perasaan yang bisa menyamai perasaan bangga ketika mewakili negara anda di Olimpiade, terutama untuk kali pertama. Begitupun bagi Iga Swiatek.

Sayangnya, tidak ada hal yang lebih menyakitkan ketika mendapatkan hasil yang berbeda dibandingkan dengan hasil yang anda harapkan dan petenis berkebangsaan Polandia memahami betul tentang hal tersebut.

Petenis berusia 20 tahun harus menelan kekalahan pahit dari petenis berkebangsaan Spanyol, Paula Badosa di babak kedua Olimpiade Tokyo. Tampil sebagai petenis unggulan keenam, ia dengan mudah mengatasi petenis berkebangsaan Jerman, Mona Barthel di babak pertama.

Namun ketika kalah dari Badosa, juara French Open musim 2020 tidak kuasa untuk berlinang air mata di lapangan dan tetap berada di bangkunya sampai ia bisa mendapatkan kembali ketenangannya.

Performa Badosa di pertandingan tersebut patut diacungi jempol. Ia tengah menikmati salah satu musim terbaik dalam kariernya setelah melaju ke perempatfinal French Open, memenangkan gelar turnamen WTA pertama dalam kariernya di Belgrade, dan menembus pekan kedua di Wimbledon.

Petenis berkebangsaan Polandia pun mengakui bahwa petenis di seberang netnya memperlihatkan permainan kelas dunia.

“Terkadang saya seperti bertanding melawan tembok, saya banyak bertahan. Itu pertandingan yang sangat menuntut,” aku Swiatek.

Tentu kekalahan tersebut sulit untuk dicerna petenis peringkat 8 dunia. Harapan terhadap dirinya semakin meningkat sejak ia memenangkan gelar Grand Slam pertama dalam kariernya di Paris musim lalu dan tanpa diragukan, ia memiliki harapan yang lebih tinggi di Olimpiade pertamanya.

Tekanan dan kebanggaan yang mencuat ketika bermain demi negara anda di pesta olahraga terbesar tampak melebihi turnamen tenis lain dan petenis berkebangsaan Polandia tidak meremehkannya. Setelah memenangkan babak pertama, ia menjadi petenis Polandia ketiga yang memenangkan laga nomor tunggal Olimpiade.

Setelah menenangkan diri dari kekalahan pahit tersebut, petenis berusia 20 tahun mengomentari perubahan emosi yang harus dihadapi petenis secara teratur.

“Tampaknya bagi saya, 90 persen para petenis akan menangis setelah kalah di pertandingan. Kali ini terjadi pada saya. Kami juga manusia. Berkompetisi di level tertinggi setiap pekan tidak mudah. Dalam satu waktu, tenis adalah olahraga yang bisa membuat anda frustasi, tetapi tentu tidak ada apa pun yang harus dikeluhkan tentang hal itu,” tambah Swiatek.

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?