DBASIA Network

Cambuk dari Perjuangan Anthony Ginting di Asian Games 2018

Anthony Ginting

DBasia.news – Pertandingan final partai pertama tim putra Indonesia dengan tim putra China sudah mencapai skor 19-19 pada gim penentuan, gim ketiga. Mukjizat menghampiri pemain Indonesia itu karena bola Shi Yuqi keluar garis lapangan. Skor menjadi 20-19.

Atlet asal klub SGS PLN Bandung itu sudah mengamankan gim pertama 21-14. Tapi, kondisi lutut kanannya yang tidak prima memaksa dia merelakan gim kedua 21-23. Pada gim ketiga itulah drama laga Asian Games 2018 di dalam Istora menyeruak.

Tiga kali poin cuma-cuma diberikan kepada Shi Yuqi skor dari 16-13 menjadi 16-15. Sedangkan atlet yang berusia 21 tahun ketika itu harus menerima perawatan medis berupa semprotan pereda nyeri.

Gerakan kakinya sudah tampak pincang sewaktu skor mencapai 18-18. Sebagai ujung tombak tim pada pertandingan pertama, pemain berdarah Batak itu menolak menyerah walau nyeri sangat terasa di kakinya.

Penonton di dalam Stadion Istora sangat emosional, mereka bersorak-sorai mendukung atlet pemusatan latihan nasional Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI) itu. “Ginting bisa” “Ginting bisa” “Ginting bisa” terdengar jelas bahkan bagi penonton yang menonton lewat layar kaca.

Juara sejati bernama Anthony Sinisuka Ginting itu kembali tersungkur saat berusaha mengembalikan serangan Yuqi dan skor menjadi 19-19. Tim medis pun memberikan perawatan kedua.

Keringat atlet kelahiran Cimahi itu seakan bercampur air mata menahan rasa sakit. Bola Yuqi mendadak keluar, gim point bagi Indonesia 20-19. Satu poin lagi demi mengamankan pertandingan partai pertama beregu putra.

Apa daya, wasit enggan memberikan lagi kesempatan perawatan medis. Ginting pun dilarang mengulur waktu. Pukulan smesnya menyangkut net. Benar-benar dalam kondisi terpaksa, Ginting menyerah setelah bola Yuqi masuk, 20-21. Permainan berhenti dengan kondisi dia terkapar di tepi lapangan.

Shi Yuqi yang menjadi lawan main menghampiri Ginting, menempuk dadanya, dan menjabat tangan kanannya. Tak kurang dari itu, Presiden Joko Widodo, Ibu Negara Iriana Joko Widodo, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto yang juga menjabat sebagai Ketua Umum PP PBSI, serta Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani menyaksikan secara langsung pahlawan muda olahraga nasional itu berjuang demi Merah-Putih.

Peningkatan koleksi gelar

 

Anthony Ginting


Momentum perjuangan Anthony Ginting dalam Asian Games menjadi cambuk kuat yang sedianya melecut prestasi cabang bulu tangkis Indonesia sepanjang 2018. Perjuangan atlet-atlet Merah-Putih yang demikian tidak sekedar melegakan dahaga publik terhadap kerja keras, rasa cinta Tanah-Air, patriotisme, pula memunculkan nasionalisme dan persatuan yang tinggi dalam masyarakat.

Sekretaris Jenderal PP PBSI Achmad Budiharto mengatakan total gelar yang diperoleh atlet-atlet bulu tangkis Indonesia dalam berbagai turnamen ataupun kejuaraan internasional sepanjang 2018 mencapai 56 gelar meningkat dari perolehan turnamen pada 2017 sebanyak 37 gelar.

“Pencapaian itu justru menjadi tantangan bagi kami pada tahun-tahun berikutnya,” ujar Budiharto merujuk pada 2019 sebagai tahun kualifikasi menuju Olimpiade Tokyo 2020.

Walaupun Ginting gagal mempersembahkan kemenangan pertama dan tim putra Indonesia hanya menempati posisi kedua dalam pertandingan beregu Asian Games, secara keseluruhan atlet-atlet nasional menyabet gelar juara dalam All England, Indonesia Terbuka, juara tim putra Asia, juara dunia junior, serta perorangan Asian Games yang terangkum dalam total 56 gelar juara sepanjang 2018.

Sejak turnamen Thailand Masters pada Januari hingga World Tour Finals pada Desember, pemain-pemain olahraga bulu tangkis terus mengharumkan nama bangsa dalam kompetisi dunia.

Atlet-atlet senior seperti Tommy Sugiarto, Hendra Setiawan, Mohammad Ahsan, Greysia Polii, Liliyana Natsir, dan Tontowi Ahmad masih menampilkan “taring mereka” dalam sejumlah turnamen dan menunjukkan peran serta pemain berpengalaman menaikkan bendera Merah-Putih dihadapan dunia.

Para pemain senior itu meraih gelar mereka dalam Thailand Masters, India Terbuka, Indonesia Terbuka, dan Singapura Terbuka yang menjadi bukti kekuatan mereka melawan atlet-atlet baru dari berbagai negara lainnya.

Indonesia masih patut berbangga pada lapisan atlet utama masih mempunyai pemain sebagaimana Jonatan Christie, Anthony Sinisuka Ginting, Gregoria Mariska, Kevin Sanjaya Sukamuljo, Marcus Fernaldi Gideon, Fajar Alfian, Muhammad Rian Ardianto, Apriyani Rahayu, Della Destiara Haris, Rizki Amelia Pradipta, Hafiz Faizal, Gloria Emanuelle Widjaja, Praveen Jordan, dan Melati Daeva Oktavianti.

Tunggal putra Jonatan dan Ginting masing-masing punya kisah perjuangan di lapangan, terutama dalam Asian Games 2018. Ginting punya kisah tidak ingin menyerah meskipun lututnya telah cedera saat menghadapi Shi Yuqi dalam laga tim. Sedangkan Jojo menjadi kebanggaan Merah-Putih ketika mampu merebut medali emas tunggal putra kategori perorangan.

Gregoria Mariska yang semula berdampingan dengan Fitriani, harus menanggung posisi sebagai pemain utama tunggal putri menyusul perbedaan peringkat dunia dengan atlet pelapis lainnya.

Ganda putra Kevin Sanjaya Sukamuljo/Marcus Fernaldi Gideon yang mengoleksi sembilan gelar juara sepanjang 2018 tentu menjadi pasangan martil Indonesia menghadapi lawan-lawan utama pemain dunia seperti pasangan China dan pasangan Jepang.

Sementara, pasangan Fajar/Rian terus menyusul senior mereka ganda Kevin/Marcus dengan meraih gelar juara turnamen Malaysia Masters dan turnamen Syed Modi India serta runner-up Asian Games 2018 nomor ganda putra.

Pada nomor ganda putri, kisah perjuangan pasangan Greysia/Apriyani serta Della/Rizki yang selalu terkepung pasangan-pasangan Jepang. Pemain-pemain putri Negeri Sakura seakan tidak kenal ampun dalam setiap turnamen.

Ganda Hafiz/Gloria dan Praveen/Melati pun memiliki kisah perjuangan mereka guna menjadi atlet tidak kalah berprestasi dari senior mereka Liliyana/Tontowi. Bermain secara konsistensi menjadi musuh utama pelapis Owi/Butet itu pada setiap turnamen internasional.

Atlet-atlet utama bulu tangkis nasional itu masih layak untuk mendapatkan kesempatan mewakili Tanah Air dalam pertandingan perorangan ataupun beregu internasional sebagai “senjata” utama tim.

Pada lapisan lebih bawah lagi, Indonesia masih mempunyai atlet potensial seperti Ihsan Maulana Mustofa, Fitriani, Hardinato, Ade Yusuf, Anggia Shitta Awanda, Ni Ketut Mahadewi Istarani, Alfian Eko Prasetya, Marsheilla Gischa Islami, Akbar Bintang Cahyono, Winny dan Oktavina Kandow.

Pergulatan pahlawan olahraga

Aksi para pahlawan olahraga bulu tangkis Indonesia untuk mengharumkan nama bangsa nyatanya seringkali dijegal “musuh” dari dalam diri sendiri seperti mental ataupun strategi mengatur turnamen yang mereka ikuti.

Mental bertanding yang naik-turun lantas dibalut berbagai persoalan pribadi jelas mengurangi kemampuan para atlet di lapangan.

Bagi atlet-atlet berpengalaman, mental bertanding memang bukan persoalan. Tapi, keterbatasan fisik karena usia yang juga turut matang menjadi persoalan lanjutannya. Liliyana Natsir memastikan pensiun pada 2019.

Di tingkatan usia yang tidak jauh berbeda, Indonesia masih terlalu sering mengandalkan pemain senior yang semestinya tidak dapat dipaksakan seperti Tommy, Hendra Setiawan, Ahsan, Greysia, serta Tontowi.

Di sisi lain, harapan yang besar dari masyarakat Indonesia terhadap bulu tangkis sebagai cabang olahraga andalan turut mencampuri psikologis atlet meskipun mereka dalam pelatnas ataupun klub punya psikolog yang membantu.

Harapan masyarakat itu akan semakin meningkat dan tumbuh menyusul kejuaraan-kejuaraan pada 2019 yang siap dihadapi. Kontribusi cabang bulu tangkis yang maksimal hanya mampu menyumbang tujuh medali emas tidak menyurutkan amanat besar di pundak para atlet cabang itu demi peringkat kontingen Indonesia dalam kejuaraan multi-cabang olahraga.

Kejuaraan-kejuaraan besar yang terhampar pada 2019 antara lain Piala Sudirman, Kejuaraan Dunia, pengumpulan poin kualifikasi Olimpiade Tokyo 2020, serta SEA Games 2019 di Filipina. Belum termasuk di dalamnya, rangkaian turnamen World Tour yang telah ditetapkan Federasi Bulu Tangkis Dunia (BWF).

Pintar-pintar atur turnamen

Atlet-atlet peringkat atas dunia mendapatkan kewajiban dari BWF untuk mengikuti minimal 12 turnamen dalam satu tahun. Kondisi itu memberatkan tentu saja bagi setiap atlet karena risiko cedera selalu menghantui mereka.

“Kami tentu ingin meloloskan dua wakil pada setiap sektor dalam Olimpiade. Kami punya strategi agar para pemain punya peringkat sehingga peluang lolos kualifikasi semakin besar. Tapi, itu bukan hal mudah,” kata Kepala Bidang Pembinaan dan Prestasi PP PBSI Susy Susanti tentang pengumpulan poin kualifikasi Olimpiade Tokyo 2020 mulai Maret 2019.

Merujuk perebutan poin kualifikasi Olimpiade Rio 2016, para pemain dunia bahkan rela turun pada turnamen tingkat grand prix demi peluang meraup poin dibanding harus bersaing pada turnamen tingkat super series premier.

“Konsistensi para pemain untuk merebut kemenangan belum terlihat. Pada satu pertandingan mereka juara, tapi pada pertandingan lain mereka kalah,” ujar Susy.

Indonesia, lanjut Susy, perlu menyiapkan setidaknya empat atlet sektor tunggal untuk merebut poin kualifikasi Olimpiade walaupun kesempatan masuk maksimal hanya dua atlet dari setiap negara.

“Jika atlet cedera, kami menyiapkan atlet lain di bawah mereka untuk naik ke peringkat atas,” ujar Susy mengacu pada atlet-atlet pelapis tunggal putra seperti Ihsan, Firman Abdul Kholik, Chicho Aura Dwi Wardoyo, dan atlet-atlet junior.

Achmad Budiharto mengatakan pengaturan turnamen bagi atlet yang berpacu meraih poin kualifikasi Olimpiade meliputi jeda keikutsertaan antar-turnamen serta peta persaingan dalam satu turnamen.

“BWF hanya akan menghitung poin atlet dalam 10 turnamen terakhir yang diikutinya. Kami tidak ingin atlet mengejar poin dalam semua turnamen karena itu justru tidak produktif. Kami ingin selektif dan memberikan kesempatan kepada pemain pelapis untuk naik peringkat,” katanya.

Atur-atur turnamen bagi atlet-atlet utama saja tidak cukup untuk PBSI. Mereka harus menyiapkan pemain-pemain nasional untuk menghadapi kejuaraan beregu bulu tangkis.

“Kami juga harus menghadapi SEA Games dan Piala Sudirman pada 2019. Itu salah satu target yang harus dicapai tanpa mengurangi tujuan utama meloloskan pemain-pemain nasional untuk masuk Olimpiade,” kata Budiharto tentang tumpuan kepada cabang bulu tangkis untuk mengibarkan Merah-Putih dalam berbagai kejuaraan olahraga.

Bagaimana pun strategi cermat PBSI, sekeras apapun perjuangan atlet-atlet bulu tangkis Indonesia meloloskan atlet mereka menuju Olimpiade, mengembalikan gelar Piala Sudirman, serta juara umum SEA Games, penilaian akhir tetap kembali kepada masyarakat.

Ginting, begitupula pasangan Kevin/Marcus, telah mengajarkan kepada segenap bangsa, olahraga bukan sekedar menang-kalah ataupun pengalungan medali emas di leher. Pertandingan olahraga merupakan pembuktian ketangguhan mental menghadapi kehidupan di luar lapangan. Ginting bisa! Indonesia bisa!

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?